Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

BERAS MENJADI SALAH SATU MASALAH KETAHANAN PANGAN INDONESIA

Indonesia merupakan negara pemakan beras nomor empat terbesar di dunia. Konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 139 kg/kapita setiap tahunnya. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus tumbuh, kebutuhan akan beras akan terus meningkat setiap tahunnya. Di sisi lain, luas lahan pertanian tidak banyak bertambah sejak 1980, dan jumlah petani mengalami penurunan. Jika kedua hal ini berarti adanya penurunan produksi beras nasional, maka ada potensi masalah ketahanan pangan yang dapat terjadi.  Swasembada beras hanya terjadi satu kali sepanjang sejarah bangsa Indonesia, yakni pada tahun 1986. Setelah itu untuk memenuhi kebutuhan beras nasional, Indonesia selalu melakukan impor beras. Berlawanan dengan pandangan umum, impor ini ternyata tidak dilakukan karena konsumsi beras melebihi produksi beras.  Dapat dilihat pada tabel, bahwa dalam rentang 2000-2004, produksi beras selalu melebihi konsumsi. Melakukan tindakan impor setidaknya memperhatikan dua hal: menjaga stok cadangan jikalau terj

POLA KONSUMSI BERBASIS IMPOR

Perubahan gizi masyarakat juga praktis tak terjadi karena hanya terjadi peningkatan kecil konsumsi protein asal hewani, yaitu 0,28 persen setiap tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Ironisnya sumber protein hewani yang hampir 100 persen pakan maupun bibitnya dikuasai perusahaan multinasional meningkat tajam 4,6 persen untuk daging ayam ras dan 1,61 persen untuk telur ayam ras setiap tahun. Sumber protein hewani asal rakyat dan petani kecil berupa daging ayam kampung, telur ayam kampung, dan telur itik menurun tajam masing-masing 1,67 persen, 7,30 persen, dan 9,78 persen setiap tahun (BPS 2014). Konsumsi tahu dan tempe yang merupakan sumber penting protein nabati—sekalipun sumber bahan bakunya sebagian besar impor—peningkatannya juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, yaitu hanya 0,16 persen per tahun. Lebih memprihatinkan penurunan konsumsi ikan lima tahun terakhir dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, yaitu minus 2,19 pers

NILAI KETAHANAN PANGAN INDONESIA

Menteri Pertanian (Andi Amran Sulaiman) mengatakan bahwa saat ini Indonesia telah menunjukkan peringkat ketahanan pangan yang cukup baik dengan berada di posisi ke-71 dari 113 negara yang diobservasi pada 2016 berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI) yang dirilis The Economist Intelligence Unit. Global Food Security yang berkantor di Hongkong, London, dan Amerika memberi penilaian perubahan ketahanan pangan Indonesia di posisi tertinggi dunia pada semester II 2016, yakni 2,7 poin. Di urutan kedua yakni Myanmar. Lembaga ini independen dan diakui FAO. Tidak apa-apa, dalam negeri tidak mengakui, tetapi dunia mengakui (Andi Amran, 2016) . Menurut Andi, dengan berbagai kebijakan di sektor pertanian, kini Indonesia bisa memperbaiki peringkat secara signifikan dibandingkan posisi pada 2014 dan 2015 yang sempat merosot di peringkat 76 dari 113 negara. Dari data tersebut, ketahanan pangan Indonesia secara umum dilihat naik dengan nilai 50,6, naik dari tahun sebelumnya yang mene

PETA PERMASALAHAN PANGAN

Di tingkat global dan nasional, memproduksi bahan pangan yang mencukupi sudah mulai dihadapkan dengan berbagai kendala besar. Kendala itu diantaranya: menurunnya permukaan air tanah, laju peningkatan produksi yang mulai stagnan, perubahan iklim yang mengacaukan pola budidaya, meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman, deplesi cadangan fosfat sebagai bahan baku pupuk P, serta degradasi dan erosi tanah yang terjadi di hampir semua negara di dunia. Sebagai dampaknya, stok biji-bijian dunia menurun dari 107 hari konsumsi pada sepuluh tahun lalu menjadi hanya 74 hari konsumsi pada beberapa tahun terakhir ini (LR Brown, 2012,  Full Planet, Empty Plates ). Harga pangan dunia juga ikut meningkat 200 hingga 300 persen yang berdampak serius bagi penduduk miskin dunia yang pendapatannya 50 hingga 70 persen dibelanjakan untuk pangan. Permasalahan pangan di Indonesia tak kalah pelik. Terabaikannya pembangunan sektor pertanian dan pangan pasca Reformasi menyebabkan kita kian dalam ma

KUALITAS SUATU BANGSA DITENTUKAN DARI TINGKAT KECUKUPAN GIZI MASYARAKAT

Dimensi pembangunan ditujukan pada upaya kebijakan dan program yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas manusia yang unggul. Oleh karena itu, salah satu prioritas dari pembangunan bangsa ini ialah pembangunan karakter bangsa, yang dapat ditentukan dari tingkat kecukupan gizi masyarakat bangsa ini. Kekurangan gizi pada usia dini akan berdampak pada perkembangan anak dan selanjutnya akan berdampak pula pada perkembangan potensi diri pada usia produktif (Puan Maharani S.Sos, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Masalah gizi di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya: kemiskinan, kesehatan, pangan, pendidikan, air bersih, keluarga berencana, dan masih banyak faktor lainnya. Sehingga, permasalahan perbaikan gizi masyarakat merupakan upaya dari berbagai sektor yang membutuhkan kesinergian dan harus terkoordinasi dengan baik. Upaya dalam percepatan perbaikan gizi pada masyarakat akan diarahkan pada penyusunan program prioritas di kementerian terk

PERMASALAHAN PANGAN DI INDONESIA

Permasalahan pangan di Indonesia tidak akan terjadi jika tidak terjadinya kelangkaan pangan. Seperti yang diketahui, masalah komoditi pangan utama masyarakat Indonesia ialah karena kelangkaan beras atau nasi. Sebenarnya kelangkaan ini tidak akan terjadi karena tiap daerah di Indonesia tidak mengonsumsi beras. Beberapa daerah di Indonesia memiliki makanan pokok yang berbeda-beda. Misalnya, makanan pokok masyarakat Madura dan Nusa Tenggara adalah jagung. Pada masyarakat Maluku dan Irian Jaya mempunyai makanan pokoknya yaitu sagu. Sedangkan beras adalah makanan pokok untuk masyarakat Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, walaupun ada juga yang menjadikan singkong, ubi dan sorgum sebagai bahan makanan pokoknya. Tetapi seluruh hal tersebut berubah total setelah pemerintah orde baru dengan Swasembada Berasnya secara tidak langsung memaksa orang yang biasa mengonsumsi bahan makanan non beras untuk mengonsumsi beras. Yang mengakibatkan munculnya lonjakan konsumsi/kebutuhan beras nasional