Perubahan gizi
masyarakat juga praktis tak terjadi karena hanya terjadi peningkatan kecil
konsumsi protein asal hewani, yaitu 0,28 persen setiap tahun, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Ironisnya sumber protein hewani yang
hampir 100 persen pakan maupun bibitnya dikuasai perusahaan multinasional
meningkat tajam 4,6 persen untuk daging ayam ras dan 1,61 persen untuk telur
ayam ras setiap tahun. Sumber protein hewani asal rakyat dan petani kecil
berupa daging ayam kampung, telur ayam kampung, dan telur itik menurun tajam
masing-masing 1,67 persen, 7,30 persen, dan 9,78 persen setiap tahun (BPS
2014).
Konsumsi tahu dan
tempe yang merupakan sumber penting protein nabati—sekalipun sumber bahan
bakunya sebagian besar impor—peningkatannya juga jauh lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan penduduk, yaitu hanya 0,16 persen per tahun. Lebih
memprihatinkan penurunan konsumsi ikan lima tahun terakhir dibandingkan dengan
lima tahun sebelumnya, yaitu minus 2,19 persen (diolah dari BPS 2014).
Pertumbuhan ekonomi di
atas 5 persen selama periode pemerintahan sekarang praktis tak berdampak terhadap
perubahan pola konsumsi ke arah kedaulatan pangan dan bahkan tak berdampak apa
pun terhadap upaya peningkatan gizi masyarakat. Program diversifikasi gagal dan
pola konsumsi masyarakat kian bergeser sedikit demi sedikit dari pola konsumsi
berbasis produksi lokal asal petani kecil dan nelayan ke pangan berbasis impor
dan produk korporasi.
Alih-alih meningkatkan
kapasitas petani kecil untuk mampu bersaing dalam pasar yang sampai saat ini
tidak adil bagi mereka, kebijakan pemerintah dalam lima tahun terakhir justru
semakin liberal dan sangat condong ke korporasi asing. Jumlah investasi asing (Foreign
Direct Investment/ FDI) untuk sektor pertanian melalui lisensi yang telah
diterbitkan pemerintah meningkat luar biasa tinggi, yaitu dari 1221 pada tahun
2009 menjadi 4342 pada tahun 2011 atau 255 persen hanya dalam tempo dua tahun
(BKPM 2012). Pada periode 2010-2013 nilai investasi asing di bidang pangan dan
perkebunan meningkat sebesar 113 persen (BKPM 2014).
Kecenderungan ini
sungguh mengkhawatirkan, apalagi pada 2015 Indonesia memasuki Masyarakat
Ekonomi ASEAN. Hambatan tarif dan nontarif akan dihilangkan dan prosedur
karantina akan diintegrasikan melalui ASEAN Single Window. Bahan pangan maupun
pangan olahan yang diimpor melalui salah satu negara akan dengan bebas masuk ke
pasar terbesar ASEAN, yaitu Indonesia, tanpa hambatan. Petani dan nelayan kecil
semakin dibenturkan sistem perdagangan pangan dan pertanian yang tak adil bagi
mereka. Dengan demikian, perlu upaya luar biasa keras sehingga program luhur kedaulatan
pangan bisa benar-benar terwujud dan tidak menjadi jargon kampanye tanpa isi.
Pemerintah mendatang
perlu merenegosiasi seluruh perjanjian regional maupun internasional yang
selama ini terbukti memperparah kondisi petani. Pola liberalisasi yang kebablasan
perlu direm dengan meninjau ulang seluruh UU terkait pangan dan pertanian serta
semua produk turunannya. Seluruh visi-misi dan program yang sudah ditulis perlu
dibedah dan dikemas ulang sehingga benar-benar implementatif menuju
kesejahteraan petani dan nelayan serta menuju Indonesia yang berdaulat di
bidang pangan
Dwi Andreas Santosa
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank
Benih Tani Indonesia
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/08/17/073000826/Global.Food.Security.Nilai.Ketahanan.Pangan.Indonesia.Tertinggi.di.Dunia
Komentar
Posting Komentar