Langsung ke konten utama

Kunjungan Industri PT Gunung Slamat - Belajar Membuat Teh?


Salah satu perusahaan yang mengolah daun teh adalah PT Gunung Slamat. Pada kesempatan lalu, mahasiswa/i Teknologi Pangan, Universitas Surya berkesempatan untuk mengunjungi PT Gunung Slamat ini. Disana kami belajar banyak mengenai teh, mulai dari sejarahnya, proses pembuatan, hingga pengemasannya. Oleh karena itu.. penulis ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai pembuatan teh di PT Gunung Slamat kepada para readers. Yuk simak pembahasannya!


PT Gunung Slamat merupakan salah satu perusahaan yang memproduksi Teh Kering Siap Saji. Pengolahan teh yang dilakukan oleh PT Gunung Slamat dilakukan dengan beberapa tahap, tergantung pada jenis teh yang diproduksi. Berdasarkan tahapan yang dilakukan pada proses pengolahan, hasil akhir teh yang didapatkan pun akan berbeda pula, sehingga proses produksi menjadi sangat krusial untuk mendapatkan produk yang mampu memenuhi kebutuhan dan preferensi konsumen. Oleh karena itu, sebagai perusahaan yang telah berdiri lebih dari 60 tahun, PT Gunung Slamat berhasil mempertahankan produk tehnya yang masih tergolong tradisional untuk tetap dikenal dan berada di pasaran hingga saat ini. Produk-produk yang dihasilkan meliputi Teh Celup Sosro, Teh Cap Botol, Teh Poci, Teh Terompet, Teh Sadel, Teh Sepatu dan Teh Berko.
PT Gunung Slamat ini memproduksi beberapa jenis teh, yaitu teh hijau, teh hijau aroma, teh hijau melati, teh hitam, dan teh hitam aroma. Namun produk yang paling banyak diproduksi adalah teh hijau aroma dan teh hitam. Di antara teh hijau dan teh hitam, proses pengolahan teh hijau aroma lebih panjang karena memiliki lebih banyak tahapan, seperti pengeringan dua kali, pembaceman, dan pewangian. Sementara teh hitam hanya melalui proses pencampuran atau mixing karena proses oksidasi secara menyeluruh dan pengeringan setelah oksidasi telah dilakukan di unit pengolahan yang terdapat di perkebunan teh. Mixing dilakukan untuk mendapatkan aroma, rasa, dan ukuran yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Tanaman teh yang digunakan merupakan jenis Camellia sinensis dan biasa diproses menjadi teh hijau. Teh hijau dapat diubah menjadi teh hitam melalui proses reaksi oksidasi enzimatis. Apabila teh hanya teroksidasi sebagian akan menjadi teh oolong dan apabila tidak dioksidasi akan menjadi white tea. White tea sebenarnya merupakan pucuk daun yang belum berkembang atau belum membuka, dipetik, dan kemudian langsung dikeringkan. Oleh karena jumlah pucuk yang sedikit dan ukurannya yang kecil, white tea memiliki harga yang tinggi.

Proses Pembuatan Teh di PT Gunung Slamat

Proses pembuatan teh wangi terdiri dari 6 tahapan utama, yaitu; pemanenan, pengeringan 1, pembaceman, pewangian, pengeringan 2, dan pengemasan, dengan tahapan pengeringan yang dilakukan dua kali.

Proses pembuatan teh wangi dimulai dari pemanenan daun teh. PT Gunung Slamat memiliki 7 perkebunan teh sendiri dengan tambahan daun teh dari PTPN serta perkebunan teh lain. Bagian daun teh yang digunakan di PT Gunung Slamat adalah bagian pucuk daun hingga daun teh tingkat kelima dari tempat pucuk daun teh. Berikut merupakan gambar tunas daun teh beserta bagian-bagiannya.
Source: The Tea Research Institute of Sri Lanka, 2003

Menurut standar pemetikan daun teh, daun teh yang dipetik sebaiknya terdiri dari satu kuncup daun hingga 2-3 daun di bawah kuncup untuk kualitas teh yang baik (Seneviratne, 2017). Semakin tua daun, semakin sedikit jumlah/kadar total fenolik daun teh sehingga rasa yang didapatkan dari seduhan daun teh tua akan kurang kompleks dibandingkan seduhan daun teh muda. Hal ini dikarenakan ragam jenis komponen fenolik yang terkandung dalam daun teh memberikan berbagai jenis rasa, aroma, dan warna akhir pada seduhan daun teh, seperti arginin dan katekin yang berkontribusi pada rasa pahit dan thearubigin pada warna merah di teh hitam (Chaturvedula dan Prakash, 2011). Daun teh yang telah dipetik kemudian dikumpulkan dan dikeringkan di unit pengolahan teh hijau yang terdapat pada setiap perkebunan. Pengeringan harus dilakukan di tempat perkebunan untuk menghindari oksidasi dan pelayuan daun teh selama perjalanan. Sehingga daun teh yang diterima PT Gunung Slamat adalah daun teh kering.
Daun teh hijau kering yang telah sampai ke PT Gunung Slamat kemudian dikeringkan lebih lanjut di pengeringan pertama. Pengeringan pertama bertujuan untuk menghilangkan bau langu dari daun teh hijau. Bau langu tersebut dihasilkan oleh senyawa (Z)-3-hexenol yang dapat dihasilkan pada tahap pelayuan daun teh, baik melalui degradasi lipid maupun melalui hidrolisis senyawa prekursor glikosidanya (Tang-Ho, Zheng, dan Li, 2015). Lipid pada daun teh teroksigenasi dan dipotong oleh enzim lipoksigenase (LOX) dan hidroperoksida liase (HPL) secara berurutan. pemotongan menghasilkan senyawa-senyawa aldehid, salah satunya (Z)-3-hexenal, yang kemudian dapat tereduksi oleh enzim alkohol dehidrogenase (ADH) menjadi bentuk (Z)-3-hexenol. Sementara pada mekanisme hidrolisis, senyawa prekursor (Z)-3-hexenil - (tetra-O-asetil) - beta-D-glukopiranosida dan (Z)-3-hexenil-beta-D-xilopiranosil-beta-D-glukopiranosida (beta-primeverosida) mengalami penambahan atom hidrogen yang kemudian membebaskan gugus hexenol dari prekursor dan membentuk senyawa (Z)-3-hexenol. Selain itu, pengeringan pertama juga bertujuan untuk mengubah warna seduhan teh menjadi lebih gelap. Warna hijau teh hijau ditentukan dari kandungan dan rasio antara klorofil tipe A dan B yang memberikan warna hijau gelap dan kuning-kehijauan secara berurutan pada teh, namun ketika dipanaskan lebih lanjut klorofil akan terdegradasi menjadi feofitin dan feoforbid yang berwarna gelap (Chaturvedula dan Prakash, 2013). Pelepasan ion Mg dari klorofil menghasilkan feofitin dan pelepasan phytol dari feofitin membentuk feoforbid, keduanya berwarna hijau-kecokelatan atau olive brown (Ankita dan Prasad, 2015). Berikut merupakan penampakan teh  setelah proses pengeringan pertama.
Warna seduhan teh yang lebih gelap lebih disukai konsumen karena terdapat persepsi di antara konsumen bahwa teh harus berwarna coklat-kemerahan. Sementara daun teh sebelum pengeringan akan memberikan warna seduhan bening kehijauan, sehingga harus dioksidasi lebih lanjut untuk mendapatkan warna yang lebih gelap. Lama pengeringan yang dilakukan bergantung pada target warna gelap yang diinginkan, semakin gelap target warna maka semakin lama juga pengeringan harus dilakukan. Namun, dengan pengeringan yang lebih lama maka kualitas teh yang dihasilkan akan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan semakin lama pengeringan, maka semakin banyak pula komponen teh, seperti polifenol dan antioksidan, yang rusak (Anggraini, 2011).
Setelah proses pengeringan pertama, dilakukan proses selanjutnya yaitu pembaceman dan pewangian. Pembaceman merupakan proses persiapan untuk tahap berikutnya, tahap pewangian. Proses pembaceman pada dasarnya adalah penambahan air pada daun teh yang telah dikeringkan lebih lanjut. Hal ini bertujuan untuk membentuk warna melalui reaksi oksidasi pada daun teh saat air ditambahkan, serta melembabkan teh untuk mengurangi reaksi eksoterm teh pada saat kontak dengan bunga. 
Bunga melati yang dipetik dan dikirimkan ke perusahaan mengandung air, sehingga apabila tidak dilakukan tahap pembaceman, air dari bunga akan meningkatkan suhu teh hingga kurang lebih 60oC. Proses fermentasi tetap berlangsung selama proses pembaceman. Fermentasi sendiri merupakan proses dimana terjadi reaksi antara komponen-komponen kimia dan enzim dalam teh dengan udara/oksigen di atmosfer (Pou, 2016). Proses fermentasi pada teh merupakan reaksi eksoterm yang berarti menghasilkan panas (Sanyal, 2011).
Air dapat menjembatani perpindahan senyawa kimia dan elektron pada suatu reaksi (Reynolds dan Lumry, 1955) sehingga mempercepat pembentukan panas pada proses fermentasi. Panas tersebut kemudian meningkatkan suhu pada campuran teh-bunga. Suhu yang cukup tinggi tersebut kemudian melayukan atau membusukkan bunga segar sebelum mekar sehingga aroma bunga tidak dapat dikeluarkan dan merasuk ke dalam teh. Proses pembaceman dilakukan di siang hari sehingga ketika saat bunga datang di sore hari, suhu teh telah mencapai suhu ruang sehingga tidak terlalu panas. Hal ini mengakibatkan bunga menjadi tidak layu. Setelah mencapai suhu ruang, bunga ditaburkan di atas daun-daun teh dan diratakan/diaduk secara kontinyu menggunakan mesin pembaceman.
Proses pewangian merupakan proses pembuatan teh menjadi wangi. Sebenarnya teh hijau sendiri mampu menghasilkan aroma bunga melati karena memiliki senyawa jasmone atau jasmonate (Lee dkk., 2013; Qiang Zheng dkk., 2016), yang juga merupakan salah satu jenis senyawa yang berkontribusi pada bau khas melati pada bunga melati itu sendiri. Namun, aroma yang dihasilkan kurang kuat, sehingga perlu ditambahkannya tahap pewangian untuk meningkatkan aroma floral tersebut. Untuk proses pewangian, bunga yang digunakan oleh PT Gunung Slamat, yaitu melati (Jasminum sambac) dan gambir (Jasminum officinale) yang didapatkan dari perkebunan di sekitar daerah Slawi. 
Sebelum mekar, bunga ditaburkan di atas daun-daun teh yang lembab. Ketika bunga melati tersebut mekar akan menghasilkan aroma bunga yang kemudian diserap oleh teh. Aroma wangi pada bunga melati dihasilkan oleh senyawa-senyawa seperti linalool, citronellol, dan jasmonate (Julianto, 2016). Senyawa-senyawa tersebut kemudian larut di air pembaceman dan diserap oleh teh. Proses pewangian ini dilakukan semalam agar aroma teh yang dihasilkan menjadi maksimal.
Keesokan harinya, tepatnya pada pagi hari sebelum tahap pengeringan berikutnya, dilakukan tahapan sortasi. Tahapan sortasi dilakukan untuk menghilangkan bunga yang digunakan sebelumnya. Hal ini dikarenakan bunga sudah tidak memiliki fungsi lain karena aroma yang dibutuhkan telah terserap semua oleh teh. Beberapa perusahaan lain akan membiarkan bunga-bunga tersebut untuk menambah nilai estetikanya. Namun, bunga yang terlalu banyak dapat menurunkan kualitas teh karena sifat bunga yang mudah teroksidasi, sehingga dapat menghasilkan atribut sensoris yang tidak diinginkan seperti bau langu pada teh. Semakin banyak bunga yang dapat dihilangkan, semakin bagus kualitas teh yang dihasilkan. Akan tetapi, biaya yang dibutuhkan juga lebih banyak karena proses sortasi tersebut dilakukan secara manual sehingga membutuhkan tenaga kerja manusia yang lebih banyak.
Setelah sortasi dilakukan tahap pengeringan kedua. Proses pengeringan kedua ini bertujuan untuk mengurangi kadar air bunga setelah proses pewangian. Setelah proses pengeringan kedua, daun teh yang dihasilkan kemudian dikemas dan disimpan hingga siap untuk didistribusikan.
Daun teh yang telah selesai mengalami sortasi kemudian akan dikemas. Pengemasan yang dilakukan di PT Gunung Slamat dilakukan dengan 2 cara yaitu, secara tradisional dan modern. Pengemasan secara tradisional dilakukan oleh kurang lebih 1.300 pekerja selama 1 shift pada produk teh wangi. Para pekerja diberi target untuk mengemas 1.500 bungkus kemasan teh per hari. Namun, rata-rata para pekerja mampu mengemas 2.000 hingga 2.200 bungkus kemasan teh per hari.
Sedangkan pengemasan secara modern dilakukan pada produk teh celup. Terdapat 2 lini pengemasan dalam pengemasan secara modern yaitu line “Poci” dan line “Sosro”. Kecepatan pengemasan pada line poci mampu menghasilkan 100 bag/menit. Kecepatan pengengemasan pada line “Sosro” menghasilkan 350-400 bag/menit. Proses pengemasan modern dilakukan kontinyu selama 24 jam.
Sebelum di distribusikan, dilakukan pengontrolan terhadap kualitas teh yang dihasilkan. Pengontrolan kualitas dari daun teh dilakukan secara organoleptik dan dengan laboratorium. Pengujian secara organoleptik dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri dengan keinginan konsumen. Selain itu, apabila pengontrolan kualitas hanya dilakukan dalam laboratorium, tidak seluruh sensasi dari teh dapat diketahui karena data yang muncul hanya data secara empiris. Sehingga pengujian yang diutamakan adalah pengujian sensoris. Pengujian laboratorium yang dilakukan adalah pengujian katekin, kadar air, dan mikrobiologis. Katekin merupakan senyawa fenolik dan merupakan senyawa metabolit sekunder yang ada dalam teh. Katekin juga digunakan sebagai parameter kualitas karena mampu mempengaruhi penampakan dan warna dari hasil seduhan teh (Koch dkk., 2018).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaledo (Kaki Lembu Donggala) - Makanan Khas Sulawesi Tengah

Kaledo merupakan makanan khas Sulawesi Tengah, tepatnya di Donggala, Kota Palu yang berupa sop bening tulang kaki sapi dan sumsumnya yang disajikan saat masih panas. Bumbu-bumbu yang digunakan berupa cabe rawit, dan asam mentah yang terlebih dahulu direbus dan dihaluskan, serta garam secukupnya. Makanan ini banyak dihidangkan pada hari-hari besar oleh masyarakat Sulawesi Tengah, seperti Lebaran atau Idul Fitri. Biasanya, penyajiannya dipadukan dengan Burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang). Selain itu, kaledo khas Palu ini juga biasa dikonsumsi dengan singkong atau ubi rebus (Tjota, dkk., 2017) . Salah satu mata pencaharian Donggala adalah ternak sapi. Donggala memiliki ternak sapi yang khas yang dinamakan sapi Donggala. Sapi Donggala telah dibudidayakan secara turun-temurun, sehingga menjadi kekayaan sumber daya genetik ternak Indonesia. Sumber mata pencaharian inilah yang menciptakan suatu kuliner khas Donggala yang baru yang berbahan dasar daging sapi, yaitu Kaledo (Kak

TABLE MANNER

Table Manner  merupakan aturan etiket yang digunakan dalam sebuah jamuan makan yang terdiri dari beberapa tahap menu yang dihidangkan bergantian dari mulai pembuka (appetizer) sampai pada tahap penutup (dessert). Aturan dalam table manner mencakup penggunaan yang tepat dari peralatan makan. Selama ini table manner identik dengan acara jamuan makan resmi bergaya Barat. Sebenarnya tidak demikian. Etiket makan tidak hanya terdapat di negara-negara barat. Di negara lain seperti Jepang, Cina, termasuk Indonesia pun memiliki etiket makan masing-masing. Pertama kali, table manner diperkenalkan oleh Raja Louis dari Perancis yang memiliki kebiasaan mengadakan jamuan dan mengundang para bangsawan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Bagi bangsa Eropa, table manner merupakan aturan standar yang sering digunakan pada saat acara makan bersama di keluarga besar terutama saat bersantap bersama-sama di sebuah acara resmi. Terdapat beberapa aturan  table manner  yang umum dipelajari,

MAKANAN KHAS INDONESIA HASIL ASIMILASI BUDAYA

Sebagai pembentuk dan penanda identitas kebudayaan suatu daerah, makanan (termasuk bahan pangan yang dapat dikonsumsi) merupakan bagian dari budaya masyarakat yang digolongkan sebagai bagian dari kebudayaan materiil   dan aspek sistem peralatan hidup. Menurut Den Hartog pada tahun 2006, makanan merupakan bagian yang menyatu antara budaya kelompok, agama dan bangsa. Pemaknaan tersebut menandai konsep mendasar mengenai makanan tradisional. Dalam sudut pandang ilmu pangan, ada kecenderungan bagi masyarakat untuk memperkenalkan makanan tradisional dari daerah mereka masing-masing, namun karena masifnya makanan modern dan makanan instan serta perubahan posisi makanan sebagai simbol ekspresi belaka, sehingga masyarakat memilih makanan tersebut menjadi konsumsi sehari-hari dan cenderung melupakan makanan khas daerahnya. Berikut merupakan beberapa contoh makanan khas Indonesia yang menjadi hasil dari asimilasi budaya: Siomay Siomay merupakan salah satu jenis dim sum yang digemari oleh m