Langsung ke konten utama

KONSEP ZERO WASTE

Zero Waste merupakan konsep pengelolaan sampah yang didasarkan pada kegiatan daur ulang (Recycle). Pengelolaan sampah ini dilakukan dengan mengelola produk dan proses secara sistematis untuk mencegah dan mengliminasi toksisitas limbah dan materia agar dapat dimanfaatkan kembali. Tujuan program ini ialah untuk meminimalisasi sampah yang dialokasikan ke TPA atau dibakar agar mengurangi timbunan sampah yang membebani TPA dan lingkungan. Pada dasarnya, zero waste bukan teknik pengelolaan hingga tidak ada lagi sampah yang dihasilkan karena tidak ada aktivitas manusia yang tidak menghasilkan sampah. Akan tetapi, konsep zero waste ini lebih menekankan pada upaya pengurangan jumlah sampah yang masuk ke TPA hingga seminimal mungkin bahkan jika memungkinkan hingga nol sampah.

Pengelolaan Sampah Secara Zero Waste
Pengelolaan secara zero waste merupakan pengelolaan dengan melakukan pemilahan, pengomposan dan pengumpulan barang layak jual.
Pemilahan
Pemilahan diawal ketika adanya sampah akan memudahkan proses pengelolaan sampah. Sebagai contoh, proses pemilahan dapat dilakukan dengan menyediakan tong sampah yang terbagi dalam 2 jenis sampah yaitu sampah organik (basah) dan sampah anorganik (kering).
Pengomposan sampah organik
Sampah yang telah terpilah menjadi sampah basah dan kering selanjutnya diolah dengan cara pengomposan dan pengumpulan sampah layak jual. Pengomposan merupakan teknik untuk mengolah sampah organik. Ada beberapa teknik untuk mengolah sampah organik selain pengomposan, misalnya pembuatan briket dan biogas. Namun, teknik yang paling mudah dan sering dilakukan ialah mengubah sampah organik menjadi kompos (pengomposan). Pada dasarnya sampah organik dapat terurai secara alami di alam, tetapi pada kondisi yang tidak dikontrol ini menyebabkan proses peruraian ini akan menimbulkan dampak lingkungan seperti lingkungan menjadi kotor, muncul bau tidak sedap, rembesan air lindi yang tidak terkendali dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pengomposan dilakukan agar proses penguraian bahan-bahan organik terkendali sehingga tidak merugikan lingkungan.
Pengomposan sampah anorganik
Pemilahan diawal ketika sampah timbul juga mempermudah proses pengelolaan sampah anorganik. Jika sampah organik dapat dikelola secara mandiri (on site) dengan cara dikomposkan, maka sampah anorganik harus dikelola dengan bantuan pihak ketiga (off site). Sebagai contoh, pihak ketiga yang saat ini sedang berkembang ialah bank sampah. Bank sampah merupakan salah satu sistem baru dalam mengelola sampah yang sedang berkembang di Indonesia. Bank sampah adalah suatu wadah yang melakukan tiga kegiatan, yaitu menghimpun sampah anorganik yang berpotensi untuk di daur ulang atau diubah menjadi bahan yang mempunyai nilai jual, menyalurkan bahan daur ulang dan produk dari sampah, dan melakukan bagi hasil dari hasil penjualan ke konsumen (Martono, 2011).
Pengumpulan barang layak jual
Salah satu prinsip dari zero waste adalah pengumpulan barang layak jual. Sehingga setelah dilakukan pengumpulan terhadap sampah anorganik, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pemindahan sampah anorganik bernilai jual ke pihak ketiga.



Implementasi Zero Waste dengan 3-R
Reduce
Reduce merupakan upaya untuk meminimalisir limbah. Hal ini mencangkup pengurangan limbah terhadap lingkungan dan memposisikan proses pengolahan perusahaan agar lebih efisien. Dengan diadakannya proses pengolahan dan efisiensi produksi, maka biaya operasi yang dikeluarkan akan menjadi lebih minim sehingga dapat mengoptimalisasi pengembangan produk. 
Reuse
Reuse (penggunaan kembali) dilakukan dengan memanfaatkan kembali bahan baku atau produk sehingga dapat menekan pengeluaran perusahaan. 
Recycling
Recycling merupakan proses merombak ulang barang menurut bahan dasarnya, dan membuat barang baru dari material tersebut. Proses ini dapat mereduksi konsumsi dari bahan baku baru dan penggunaan energi. Recyling juga dapat mereduksi efek rumah kaca, emisi polusi udara, polusi air yang dihasilkan dari proses produksi.


Gambar terkait

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaledo (Kaki Lembu Donggala) - Makanan Khas Sulawesi Tengah

Kaledo merupakan makanan khas Sulawesi Tengah, tepatnya di Donggala, Kota Palu yang berupa sop bening tulang kaki sapi dan sumsumnya yang disajikan saat masih panas. Bumbu-bumbu yang digunakan berupa cabe rawit, dan asam mentah yang terlebih dahulu direbus dan dihaluskan, serta garam secukupnya. Makanan ini banyak dihidangkan pada hari-hari besar oleh masyarakat Sulawesi Tengah, seperti Lebaran atau Idul Fitri. Biasanya, penyajiannya dipadukan dengan Burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang). Selain itu, kaledo khas Palu ini juga biasa dikonsumsi dengan singkong atau ubi rebus (Tjota, dkk., 2017) . Salah satu mata pencaharian Donggala adalah ternak sapi. Donggala memiliki ternak sapi yang khas yang dinamakan sapi Donggala. Sapi Donggala telah dibudidayakan secara turun-temurun, sehingga menjadi kekayaan sumber daya genetik ternak Indonesia. Sumber mata pencaharian inilah yang menciptakan suatu kuliner khas Donggala yang baru yang berbahan dasar daging sapi, yaitu Kaledo (Kak

TABLE MANNER

Table Manner  merupakan aturan etiket yang digunakan dalam sebuah jamuan makan yang terdiri dari beberapa tahap menu yang dihidangkan bergantian dari mulai pembuka (appetizer) sampai pada tahap penutup (dessert). Aturan dalam table manner mencakup penggunaan yang tepat dari peralatan makan. Selama ini table manner identik dengan acara jamuan makan resmi bergaya Barat. Sebenarnya tidak demikian. Etiket makan tidak hanya terdapat di negara-negara barat. Di negara lain seperti Jepang, Cina, termasuk Indonesia pun memiliki etiket makan masing-masing. Pertama kali, table manner diperkenalkan oleh Raja Louis dari Perancis yang memiliki kebiasaan mengadakan jamuan dan mengundang para bangsawan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Bagi bangsa Eropa, table manner merupakan aturan standar yang sering digunakan pada saat acara makan bersama di keluarga besar terutama saat bersantap bersama-sama di sebuah acara resmi. Terdapat beberapa aturan  table manner  yang umum dipelajari,

MAKANAN KHAS INDONESIA HASIL ASIMILASI BUDAYA

Sebagai pembentuk dan penanda identitas kebudayaan suatu daerah, makanan (termasuk bahan pangan yang dapat dikonsumsi) merupakan bagian dari budaya masyarakat yang digolongkan sebagai bagian dari kebudayaan materiil   dan aspek sistem peralatan hidup. Menurut Den Hartog pada tahun 2006, makanan merupakan bagian yang menyatu antara budaya kelompok, agama dan bangsa. Pemaknaan tersebut menandai konsep mendasar mengenai makanan tradisional. Dalam sudut pandang ilmu pangan, ada kecenderungan bagi masyarakat untuk memperkenalkan makanan tradisional dari daerah mereka masing-masing, namun karena masifnya makanan modern dan makanan instan serta perubahan posisi makanan sebagai simbol ekspresi belaka, sehingga masyarakat memilih makanan tersebut menjadi konsumsi sehari-hari dan cenderung melupakan makanan khas daerahnya. Berikut merupakan beberapa contoh makanan khas Indonesia yang menjadi hasil dari asimilasi budaya: Siomay Siomay merupakan salah satu jenis dim sum yang digemari oleh m