Langsung ke konten utama

Nasi Tumpeng - Representasi Makanan Tradisional Indonesia?


Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan budayanya yang sangat beragam. Terdiri dari 17 ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke sepanjang 5000 kilometer membuat keragaman Indonesia tidak dapat diabaikan. Salah satu jenis keragaman budaya yang dapat dinikmati dari Indonesia adalah makanannya. Indonesia kaya dengan makanan khas setiap daerahnya. Ditambah lagi dengan makanan hasil akulturasi budaya lain, seperti pengaruh agama Hindu dan Buddha, pengaruh suku bangsa Tionghoa, pengaruh datangnya Bangsa Eropa, maupun pengaruh lokasi Indonesia yang strategis dan mudah dijangkau dari negara lain membuat Indonesia semakin kaya akan pangannya.

Besarnya keragaman makanan Indonesia menyebabkan sulitnya ditemukan makanan yang benar-benar merepresentasikan budaya Indonesia. Namun pada tahun 2012, Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan akhirnya memilih tumpeng sebagai representasi dari makanan tradisional Indonesia karena tumpeng diyakini telah dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Tumpeng dianggap merepresentasikan budaya kuliner Indonesia karena tumpeng dikenal di berbagai wilayah di Indonesia, tidak hanya ada di Pulau Jawa saja. Saat ini, masyarakat mulai mendalami tumpeng bukan lagi dari segi budaya dan filosofinya, tetapi lebih kepada makna tumpeng hanya sebagai menu sajian bagi tamu saat diadakan syukuran. Lauk tumpeng kini juga mulai beragam, seperti terdapat olahan kentang berupa perkedel yang merupakan menu khas Belanda dan Denmark, ataupun dengan tambahan mie goreng yang merupakan menu khas Tiongkok sebagai bentuk harapan akan umur panjang dan rezeki berlimpah. Ditambah lagi dengan kebiasaan cara memakan tumpeng yang bergeser dari memakan satu tumpeng secara beramai-ramai hingga tumpeng yang dibentuk disetiap piring sajian tamu. Hal ini dikarenakan terjadinya pergeseran budaya di tengah globalisasi yang semakin sulit dihindari.

Tumpeng dipercaya sudah ada sejak abad 15, dimana pada masa itu kerajaan-kerajaan di Jawa masih kental dengan pengaruh Hindu. Menurut budayawan Yahya Andi Saputra, tumpeng merupakan representasi dari bentuk gunung, yang warna dan filosofi lainnya juga erat kaitannya dengan kepercayaan Hindu. Agama Hindu memiliki kepercayaan bahwa gunung adalah tempat suci dan sakral dan merupakan tempat yang menjembatani dunia manusia dan dunia alam baka. Disamping itu, gunung juga merupakan asal mula sumber kehidupan, yakni air yang mengalir dari gunung hingga dapat memenuhi kebutuhan hidup mahluk hidup. Sebelum Hindu mempengaruhi kebudayaan Jawa, terdapat kepercayaan Kejawen, yang juga mempercayai bahwa gunung merupakan tempat yang suci dan sacral dan menjadi tempat tinggal Tuhan. Bentuk tumpeng dibuat mengerucut untuk menandakan bahwa posisi Tuhan diatas segalanya.

Tumpeng merupakan nasi yang disajikan dengan bentuk kerucut yang diletakan diatas tampah (anyaman bambu berbentuk bulat) yang dialas dengan daun pisang. Tumpeng disajikan dengan tujuh komponen (yang dalam bahasa jawa tujuh disebut pitu, yang dapat digambarkan sebagai pitulungan yang berarti pertolongan). Namun menurut beberapa sumber, tumpeng tidak selalu harus berjumlah tujuh. Budayawan Yahya Andi Saputra menuturkan bahwa lauk tumpeng harus berjumlah ganjil, sedangkan menurut Soesilo (2002), jumlah lauk tumpeng dapat disesuaikan dengan kemampuan orang yang mengelar acara. Disamping itu, berdasarkan Irmawati (2013), lauk tumpeng harus merepresentasikan dua elemen, yakni hewan dan tumbuhan. Contoh elemen hewan yang biasa digunakan adalah ayam, telur, maupun ikan, sedangkan elemen tumbuhan yang biasa digunakan adalah kedelai, tauge, kacang panjang, timun, maupun tomat.

Kata tumpeng dipercaya merupakan akronim dari ungkapan Bahasa Jawa yang berbunyi, “tumungkula sing mempeng”, dimana tumungkula berarti menunduk dan mempeng berarti rajin, yang dimaksudkan jika manusia ingin selamat dalam hidupnya, manusia harus dengan rajin berdoa. Tumpeng harus disajikan di atas tampah, yakni alas makanan tradisional yang dianyam dengan bambu hingga berbentuk bulat. Diatas tampah harus dilapisi daun pisang yang ujung- ujungnya dibentuk segitiga. Bentuk daun pisang ini melambangkan matahari. Nasi tumpeng ditempatkan tepat ditengah daun pisang dan dibuat mengerucut. Letaknya yang ditengah melambangkan nasi sebagai makanan pokok (yang dianggap sangat penting bagaikan matahari dan dianggap sebagai sumber karena ditengah) dan dianggap penting bagi masyarakat Jawa.

Bentuk tumpeng yang mengerucut mengandung harapan agar kualitas hidup semakin lama semakin lebih baik lagi. Kerucut sendiri merupakan simbol dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan lagi, dan bentuk kerucut pada tumpeng yang dibuat menjulang memiliki makna keagungan Tuhan yang Maha Esa. Tumpeng merupakan wujud permohonan perlindungan, keselamatan, kesejahteraan, sehingga tumpeng memiliki banyak jenis dengan maksud memohon hal yang berbeda-beda pula yang disesuaikan dengan tujuan dan harapan yang hendak dicapai. Dilihat dari bagian depan, tumpeng terlihat berbentuk segi tiga. Puncak segitiga dianggap sebagai tempat bagi Tuhan, sedangkan kedua kaki segitiga melambangkan manusia dan alam. Artinya, manusia berkoneksi langsung dengan Tuhan, alam berkoneksi langsung dengan Tuhan, lalu manusia dan alam juga saling berkoneksi. Bentuk ini diharapkan mengingatkan manusia bahwa hidupnya tidak lepas dari Tuhan dan alam. Dengan memaknai tumpeng juga diharapkan manusia dapat menyadari posisinya di dunia dan terdapat kuasa tidak terlihat yang menguasai dan mengatur kehidupan alam semesta. Diharapkan jika manusia mempersembahkan tumpeng pada Tuhan, Tuhan akan berkenan dan memberikan timbal balik pada manusia seperti perlindungan, kesejahteraan, dan hal lainnya.

Tumpeng merupakan makanan yang disajikan saat slametan, atau perayaan tradisional Jawa. Slametan merupakan ritual untuk meminta keselamatan dalam berbagai aspek kehidupan, yang merupakan inti dari perayaan-perayaan tradisi Jawa. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta, bahkan hingga jalan yang akan ditempuh di kemudian hari juga telah datur. Slametan sendiri merupakan bentuk ekspresi dari rasa syukur atas berkat dan rahmat yang didapatkan. Sebagai kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama, slametan juga merupakan bentuk dari adanya rasa persaudaraan.

Dalam prosesi memakan tumpeng, terlebih dahulu dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh orang yang dituakan atau oleh juru kunci yang dianggap dapat menjembatani dunia manusia, dunia alam dan Tuhan. Doa dipanjatkan untuk mempersembahkan tumpeng bagi Tuhan sambil meminta permohonan atau ungkapan rasa syukur atas sesuatu yang telah didapatkan. Jika tumpeng dibuat sebagai ungkapan rasa syukur ataupun permohonan akan sesuatu oleh sebuah keluarga, setelah berdoa, bagian atas tumpeng akan diambil oleh pemimpin doa/ritual dengan cara didorong hingga jatuh ke daun pisang yang digunakan sebagai piring untuk makan, dan diberikan pada orang yang menggelar hajatan atau acara syukuran tersebut. Hal ini merupakan bentuk dari ungkapan rasa terima kasih masyarakat yang diundang atas adanya acara yang dilakukan, dan bentuk harapan masyarakat agar harapan dan rasa syukur orang yang menggelar hajatan dapat diterima oleh Tuhan.

Tumpeng tidak boleh dipotong karena sama halnya dengan memotong relasi. Jika dipotong horizontal, artinya memotong relasi dengan Tuhan, sedangkan dika dipotong vertikal, artinya memotong relasi dengan alam. Sehingga yang dilakukan adalah menjatuhkan tumpeng dari atas sebagai ungkapan agar adanya harapan yang dikabulkan oleh Tuhan. Jika tumpeng dibuat sebagai sesajen pelengkap upacara, contohnya seperti nyadran, atau upacara pembersihan makam nenek moyang yang dilakukan menjelang Ramadhan, bagian atas tumpeng diberikan pada pemangku adat ataupun orang lain yang dituakan sebagai wujud syukur karena orang yang dituakan tersebut telah menjadi sosok yang dapat dicontoh masyarakat. Setelah bagian atasnya diberikan pada keluarga yang memiliki acara atau orang yang dituakan, masyarakat dapat mengambil tumpeng dengan tangan mulai dari bagian bawah tumpeng. Cara ini dipercaya sebagai makna masyarakat harus hidup sederhana dan dengan rendah hati untuk mencapai kemuliaan dikemudian hari.

source : netz.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaledo (Kaki Lembu Donggala) - Makanan Khas Sulawesi Tengah

Kaledo merupakan makanan khas Sulawesi Tengah, tepatnya di Donggala, Kota Palu yang berupa sop bening tulang kaki sapi dan sumsumnya yang disajikan saat masih panas. Bumbu-bumbu yang digunakan berupa cabe rawit, dan asam mentah yang terlebih dahulu direbus dan dihaluskan, serta garam secukupnya. Makanan ini banyak dihidangkan pada hari-hari besar oleh masyarakat Sulawesi Tengah, seperti Lebaran atau Idul Fitri. Biasanya, penyajiannya dipadukan dengan Burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang). Selain itu, kaledo khas Palu ini juga biasa dikonsumsi dengan singkong atau ubi rebus (Tjota, dkk., 2017) . Salah satu mata pencaharian Donggala adalah ternak sapi. Donggala memiliki ternak sapi yang khas yang dinamakan sapi Donggala. Sapi Donggala telah dibudidayakan secara turun-temurun, sehingga menjadi kekayaan sumber daya genetik ternak Indonesia. Sumber mata pencaharian inilah yang menciptakan suatu kuliner khas Donggala yang baru yang berbahan dasar daging sapi, yaitu Kaledo (Kak

TABLE MANNER

Table Manner  merupakan aturan etiket yang digunakan dalam sebuah jamuan makan yang terdiri dari beberapa tahap menu yang dihidangkan bergantian dari mulai pembuka (appetizer) sampai pada tahap penutup (dessert). Aturan dalam table manner mencakup penggunaan yang tepat dari peralatan makan. Selama ini table manner identik dengan acara jamuan makan resmi bergaya Barat. Sebenarnya tidak demikian. Etiket makan tidak hanya terdapat di negara-negara barat. Di negara lain seperti Jepang, Cina, termasuk Indonesia pun memiliki etiket makan masing-masing. Pertama kali, table manner diperkenalkan oleh Raja Louis dari Perancis yang memiliki kebiasaan mengadakan jamuan dan mengundang para bangsawan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Bagi bangsa Eropa, table manner merupakan aturan standar yang sering digunakan pada saat acara makan bersama di keluarga besar terutama saat bersantap bersama-sama di sebuah acara resmi. Terdapat beberapa aturan  table manner  yang umum dipelajari,

MAKANAN KHAS INDONESIA HASIL ASIMILASI BUDAYA

Sebagai pembentuk dan penanda identitas kebudayaan suatu daerah, makanan (termasuk bahan pangan yang dapat dikonsumsi) merupakan bagian dari budaya masyarakat yang digolongkan sebagai bagian dari kebudayaan materiil   dan aspek sistem peralatan hidup. Menurut Den Hartog pada tahun 2006, makanan merupakan bagian yang menyatu antara budaya kelompok, agama dan bangsa. Pemaknaan tersebut menandai konsep mendasar mengenai makanan tradisional. Dalam sudut pandang ilmu pangan, ada kecenderungan bagi masyarakat untuk memperkenalkan makanan tradisional dari daerah mereka masing-masing, namun karena masifnya makanan modern dan makanan instan serta perubahan posisi makanan sebagai simbol ekspresi belaka, sehingga masyarakat memilih makanan tersebut menjadi konsumsi sehari-hari dan cenderung melupakan makanan khas daerahnya. Berikut merupakan beberapa contoh makanan khas Indonesia yang menjadi hasil dari asimilasi budaya: Siomay Siomay merupakan salah satu jenis dim sum yang digemari oleh m